Kamis, 08 Oktober 2009

Sisa Waktu Itupun Terkadang Tak Tersisa Lagi...

Hari ini saya menerima email dari Komunitas Pesan Hari Ini (PHI)... satu kisah lagi mirip cerita "Mandikan Aku Bunda" mengenai fenomena yang harus dihadapi oleh kaum urban di kota besar... (Ga tau deh kalau ini juga dialami di kota kecil) ... eksekutif muda yang melulu mengejar karir, mengejar mimpi bisa sukses di usia muda... sehingga banyak yang terpinggirkan, tersisihkan...bahkan tak terperhatikan... Miris... Even sisa waktupun tak tersisa lagi...
Versi Bahasa Inggrisnya juga pernah aku baca...miriplah ceritanya. Semoga jadi pelajaran berharga untuk kita semua.

Gaji Papa Berapa?

Seperti biasa Budiman, Kepala Cabang di salah satu Bank swasta di Jakarta , tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Sari, putri pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SD membukakan pintu untuknya. Nampaknya Ia sudah menunggu cukup lama. "Kok, belum tidur ?" sapa Budiman sambil mencium anaknya. Biasanya Sari memang sudah lelap ketika Ia pulang dan baru terjaga ketika Ia akan berangkat ke kantor pagi hari.
Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga, Sari menjawab, "Aku nunggu Papa pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Papa ?". "Lho tumben, kok nanya gaji Papa ? Mau minta uang lagi, ya ?". "Ah, enggak. Pengen tahu aja" ucap Sari singkat.
"Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp 400.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung 22 Hari kerja. Sabtu dan minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur. Jadi, gaji Papa dalam satu bulan berapa, hayo ?". Sari berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar sementara Papanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Budiman beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Sari berlari mengikutinya. "Kalo satu hari Papa dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam Papa digaji Rp 40.000,- dong" katanya.
"Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur" perintah Budiman tetapi Sari tidak beranjak. Sambil menyaksikan Papanya berganti pakaian, Sari kembali bertanya, "Papa, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- enggak ?". "Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini ? Papa capek. dan mau mandi dulu. Tidurlah". "Tapi Papa..."
Kesabaran Budiman pun habis. "Papa bilang tidur !" hardiknya mengejutkan Sari. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya. Usai mandi, Budiman nampak menyesali hardiknya. Ia pun menengok Sari di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Sari didapati sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp 15.000,- di tangannya.
Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Budiman berkata, "Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama Sari. Tapi buat apa sih minta uang malam-malam begini ? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa.Jangankan Rp 5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih" jawab Budiman. "Papa, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini". "lya, iya, tapi buat apa ?" tanya Budiman lembut.
"Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit aja. Mama sering bilang kalo waktu Papa itu sangat berharga. Jadi, aku mau ganti waktu Papa. Aku buka tabunganku, hanya Ada Rp15.000,- tapi karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp 40.000,-maka setengah jam aku harus ganti Rp 20.000,-. Tapi duit tabunganku kurang Rp 5.000, makanya aku mau pinjam dari Papa" kata Sari polos.
Budiman pun terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaan haru. Dia baru menyadari, ternyata limpahan harta yang dia berikan selama ini, tidak cukup untuk "membeli" kebahagiaan anaknya.
Mudah2an Cerita ini bisa menjadi inspirasi buat kita semua……

Tidak ada komentar: