Minggu lalu saat saya bersama anak-anak mengisi liburan dengan jalan-jalan ke Taman Safari Cisarua Puncak..sepanjang perjalanan melintang spanduk-spanduk promosi penjualan kavling di kawasan Kota Bunga Cipanas.."Miliki Kavling di Kota Bunga Cicilan 36 kali plus hadiah menarik" demikian bunyi spanduknya. Di situasi yang lain...saat saya mengunjungi kantor pemasaran apartemen Green Place di Kalibata City..Seorang personil marketingnya menginformasikan untuk mendapatkan sebuah unit apartemen dapat dilakukan dengan beberapa skim cara pembayaran antara lain : Pertama dengan cara cash keras dan kedua cara cash/tunai bertahap selama 36 bulan..nah...lho...yang ketiga dengan fasilitas KPA (kredit pembelian Apartemen) dari bank yang telah ditunjuk pengembang. Ceritanya si Mas Marketing Kalibata City ini, Skim cash bertahap adalah pilihan yang paling laku karena apartemen dapat dimiliki dengan cicilan tetap selama 36 kali sampai masa pelunasan.
Saya juga pernah melihat iklan dari sebuah bank konvensional yang terkenal mempunyai jaringan kantor dan ATM paling banyak menawarkan program Fix and Cap menawarkan KPR dengan bunga 9.75% untuk 3 tahun pertama dan 11% untuk 2 tahun berikutnya, dengan kata lain KPR selama 5 tahun dengan bunga tetap. Informasi yang saya dapatkan produk bank konvensional ini sangat laku, petugas yang menangani mulai dari customer service sampai dengan petugas yang menyetujui kredit dengan skim ini cukup kewalahan melayani besarnya animo masyarakat yang tertarik. Promo ini juga diikuti oleh beberapa iklan bank konvensional lainnya yang menawarkan KPR dengan bunga flat 10.5%-12.5% selama jangka waktu tertentu (umumnya menawarkan jangka waktu 3-5 tahun)
Krisis keuangan global yang dipicu kasus subprime mortgage sedikit banyak menyebabkan perbankan nasional juga terkena imbasnya. Terutama untuk bank-bank yang dimiliki oleh asing yang portfolio utamanya didominasi transaksi derivatif banyak yang mengalami kerugian besar. Antisipasi dampak krisis keuangan global mendorong pemerintah untuk melakukan kebijakan moneter ketat, seperti kenaikan suku bunga perbankan dan pengetatan likuiditas oleh bank-bank dengan melakukan peninjauan kembali terhadap kredit investasi baru ataupun yang sedang berjalan.
Akibat pengetatan di sisi moneter berdampak kepada kelanjutan proyek properti dengan pengembang yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap pinjaman perbankan. Proyek-proyek properti yang saat ini masih berada dalam tahap awal perencanaan atau konstruksi banyak yang tertunda karena terhambatnya aliran dana dari bank. Dari sisi permintaan, tingginya suku bunga pinjaman dan peninjauan kembali terhadap pinjaman KPR yang baru ataupun yang sedang berjalan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat menengah ke bawah yang bergantung pada pinjaman perbankan. Dan para calon nasabah KPR ini juga banyak yang melakukan aksi menunggu sampai pemerintah menurunkan suku bunga kredit perbankan kembali. Hal ini salah satu penyebab bank-bank konvensional berusaha mencari strategy baru untuk meningkatkan penjualan produknya dengan menciptakan inovasi-inovasi produk dengan skim yang memungkinkan peningkatan penjualan dan keuntungan bank.
Dilain pihak ternyata krisis global tidak berdampak kepada kinerja bank-bank syariah. Hal ini disebabkan bank syariah tidak diperbolehkan untuk memiliki portfolio transaksi derivatif yang tidak jelas kehalalannya. Hmmm..sepertinya keberhasilan sistem ekonomi syariah bertahan dalam situasi krisis finansial global ini sepertinya membuka mata dan menjadi inspirasi bagi para marketing expert dan analis bank di bank-bank konvensional mencoba strategy baru untuk memasarkan produk-produk bank konvensional dengan skim baru seperti skema fix and cap, fix/flat rate untuk jangka waktu tertentu dll.
Ini Syariah juga ga sih??
Produk-produk penyaluran dana perbankan dengan fix rate menurut hemat saya mekanismenya tidak berbeda jauh dengan produk yang banyak dijual oleh perbankan syariah yaitu penyaluran dana/pembiayaan dengan skema transaksi murabaha yang menggunakan akad jual beli pada perbankan syariah. Bertransaksi dengan akad jual beli secara syariah penjual diperbolehkan mengambil margin keuntungan untuk menutup biaya operasional dan mengambil keuntungan yang pantas.
Menurut pemikiran saya yang sederhana ini produk-produk pembiayaan bank-bank konvensional dengan fix/flat rate untuk jangka waktu tertentu cukup fair untuk semua pihak yang terlibat. Tidak ada pihak yang dirugikan, pihak pengembang (developer) untung karena produknya laku..dan konsumen dapat mengatur cashflow anggaran rumah tangganya, karena mendapat kepastian harga tidak akan berubah sampai dengan masa kontrak dan pihak bank sebagai lembaga intermediary akan mampu menutup biaya operasional dan memperoleh margin keuntungan normal.
Mohon dong Pak Bu..para ahli-ahli keuangan dan perbankan syariah pencerahannya untuk masalah ini. Beberapa produk bank konvensional yang sudah saya sebutkan diatas sepertinya mengandung ke-'thoyib'an atau 'value kebaikan' Sesuatu yang baik tentunya perlu dikembangkan. Apalagi sekarang kan sudah ada office channeling atau pelayanan syariah di bank konvensional terkemuka. Bagaimana mekanisme yang terbaik yang sesuai dengan rambu-rambu syariah terhadap produk-produk inovasi perbankan konvensional sekaligus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar